Pensil Mini

Dalam masa muda gue yang suram, dimana saat gue mulai akil balik. Gue pernah merasakan yang namanya tertarik dengan seorang gadis. Saat itulah gue mengerti, ketertarikan dengan seorang gadis bisa membuat seseorang berubah drastis. Seperti yang tadinya gue enggak suka ngaca, jadi sering ngaca. Alhasil, apapun yang bisa mematulkan bayangan diri gue, pasti gue lirik. Kemudian gue merapikan hal yang bisa gue rapihin agar terlihat lebih enak diliat. Seperti rambut yang gue sisir pake jari-jari gue. Satu hal yang sampe sekarang nggak bisa gue rapihin adalah muka gue, tiap gue ngaca enggak pernah sesekalipun gue melihat tampang gue ini berubah menjadi Tom Cruise misalnya, atau kalau bisa mirip Justin Bieber. Tapi rasanya untuk hal yang satu ini memang sudah cetakan dari orang tua. Gue harus bersyukur, setidaknya muka kaya gini masih diterima hidup di bumi.
Ketertarikan gue dengan seorang gadis terjadi pada masa SMP, yaitu ketika gue duduk dikelas dua. Seorang gadis yang gue taksir serta sangat beruntung itu bernama Renata Alisya, gadis yang kecil, putih, imut dan manis. Jangan pikir ini semacam tikus atau marmut. Oke, biar lebih jelas dan spesifik, tentunya seorang gadis manusia. Ya, spesies manusia. Rena punya senyum yang begitu manis, sampai-sampai senyum Rena itu bikin gue nggak bisa tidur semalaman. Apalagi kalau nggak ngantuk.
Awal pertemuan gue dengan Rena memang tidak semenarik pertemua dua orang lawan jenis dalam serial tv atau sinetron. Biasanya dalam serial tv atau sinetron seorang pria bertemu dengan gadis idamannya ditempat yang spesial juga. Seperti taman, restaurant, mall atau bahkan bioskop. Pertemuan kedua pasangan itu biasanya diawali dengan si cowok nabrak cewek, kemudian kenalan, minta nomer handphone, sms dan teleponan, ngajakin dinner, kemudia jadian. Berbeda dengan gue, bertemu Rena di depan gerbang sekolah, tempat yang sungguh nggak ada romantisnya. Iyalah, yang ada pedangang asongan nawarin ciki gopean, sama mobil motor lalu lalang. Saat itu gue liat Rena berdiri dengan anggunya di depan gerbang sembari memainkan ponselnya. Gue melirik kearah Rena sambil menebar senyum, meski saat itu terlihat menjijikan. Tapi gue tetap berlaga cool seperti Raffi Ahmad yang malah terlihat seperti abis makan lem tikus. Rena kemudian melirik kearah gue, mungkin dia bingung melihat cowok kurus, dekil senyam-senyum, kasian ngeliat tampang melas gue, Rena membalas senyuman gue. Saat itulah gue merasa jatuh hati dengan sosok gadis bernama Renata.
Renata adalah sosok pertama dalam kehidupan percintaan gue yang gue taksir. Saat itu umur gue masih tiga belas tahun. Bisa dibayangkan betapa imutnya gue saat itu. Diumur gue yang sudah menginjak kepala dua ini saja terkadang masih suka dibilang anak SMP. Pernah ada suatu kejadian, ketika itu gue lagi nonton bola sama Ines, ade kandung gue yang masih SMP dilapangan bola belakang rumah. Meski gue nggak tahu club apa yang sedang tanding saat itu, gue tetap nonton karena setidaknya disana ramai, soalnya kasihan adik gue dirumah terus nanti bisa jamuran. Bukan masalah adik guenya, tapi kasian jamurnya. Harus menjamuri adik gue. Oke lanjut, saat gue nonton bola diantara keramaian, sengaja gue pegang tangan adik gue supaya dia nggak kabur karena takutnya kalau kabur bisa ditemukan warga setempat sedang ngemilin tiang listrik atau joget-joget diatas tower listrik. Saat momen romantis itu, tepatnya saat gue pegang tangan ade gue, seorang bapak setengah baya bilang “pacaran ya ?”. Gue senyum sok imut sambil menahan tawa. Pengen gue balas “bukan, dia nyokap gue !” tapi gue urungkan, lebih baik enggak usah perduliin omongan enggak penting itu. semenjak perkataan sibapak itu gue jadi terbayang, apakah muka gue kemudaan atau muka adik gue yang ketuaan. Mungkin kalau saja si bapak tahu umur gue dan adik gue yang selisih lumayan jauh, jadi seperti om-om yang suka daun muda.
Balik lagi ke Renata, sosok gadis yang gue taksir itu. setelah tatap-tatapan menjijikan didepan gerbang saat itu, gue mulai melakukan pendekatan. Seperti yang biasa dilakukan umat manusia saat tertarik dengan lawan jenisnya. Ia akan rela melakukan apapun untuk bisa dekat dengan seseorang yang ditaksirnya.
Rasa penasaran gue mulai muncul, saat itu gue belum tahu siapa nama dia, rumah dia dimana, makanan kesuakaanya apa, musik favoritenya apa, sampai warna pakaian dalamnya apa. Ups, untuk yang terakhir kayanya nggak perlu deh. Rena memang terlihat pendiam saat gue nguntilin dia. Maksud hati ingin mengetahui nama dia secara langsung akhirnya harus kandas. Terlebih karena gue masih suka gerogi saat bertatapan dengan dia. Setelah gue menjadi wartawan gadungan dengan menanya-nanya nama dia dari temen-temennya. gue pun berhasil tahu nama gadis manis itu. Korban dari wawancara oleh wartawan gadungan seperti gue adalah Tya, seorang gadis berkacamata yang gue kenal dan gue lihat sering jalan bareng Renata.
“Tya,  nama cewek yang sering jalan sama lo itu siapa ?”tanya gue sama Tya saat itu sambil nunjuk-nunjuk Rena.
“oh, yang itu namanya Renata. Kenapa, lo suka ya sama dia ?” tanya Tya curiga.
Itulah hal yang sering ditanyakan ketika seseorang cowok menanyakan nama seorang cewek yang tidak dikenalnya. Terkadang cowok sering dicurigai tertarik dengan cewek yang ditanyakan. Padahal itu belum tentu. Memang pada kasus gue, pertanyaan itu memang benar, bahwa gue tertarik sama Renata. Namun mungkin dalam kasus lain, seorang cowok nanya nama cewek kepada seseorang hanya untuk sekedar tahu, atau mungkin nanya nama untuk digunakan sebagai nama hamster peliharaanya. Nggak jelas memang.
Ketertarikan gue dengan Renata, membuat gue harus merubah total penampilan. Semenjak itu, gue jadi mandi setiap berangkat sekolah, pakai jel rambut, dan pakai minyak wangi overdosis yang baunya bisa bikin satu kelas pingsan. Hal-hal itu tentunya gue lakukan agar Renata bisa melirik ke gue, atau setidaknya bisa beruntung ditaksir sama cowok seganteng gue.
Gue jadi bangun pagi untuk make over penampilan gue. Setelah mandi sekitar sejam gue mulai menata penampilan. Gue melirik kaca “Astagfirullah..” lah kenapa gue harus kaget ngeliat tampang gue sendiri. Ya, mungkin karena tampang gue emang ancur abis. Oke, kita mulai make over penampilan.
Langkah pertama. Pakai jel rambut, kemudian menata rambut agar lebih terlihat seperti artis Boyband yang lagi ngetop itu. Hasilnya keren abiss, kelimis-kelimis jijay gituh. Keren banget, mirip sama personil boyband yang personilnya ada tujuh itu, gue nggak boleh nyebut nama karena nanti mereka bangga dimirip-miripin sama gue. Gue kasih tahu inisialnya aja, SMASH.
Langkah kedua. Pakai minyak wangi. Biasanya cewek seneng sama cowok yang wangi jadi tanpa pikir panjang gue semprot seluruh badan gue dengan minyak wangi yang mereknya nama terowongan di Jakarta itu (baca: Casablanca). Gue sempet curiga, kalau pakai minyak wangi itu gue akan terlihat menyeramkan kaya terowongan itu. serem abiss,,.. padahal kenyataanya itu adalah nama sebuah tempat dibagian permukaan bumi lain. Maklum norak.  Gue pun menyemprot seluruh tubuh seksi gue dengan minyak wangi itu secara membabi buta, bahkan gue udah nggak peduli sebanyak apa gue nyemprot. Alhasil, terlihat adik gue pingsan saat masuk kamar gue. Ternyata, diusut-usut, adik gue pingsan saat masuk kamar gue bukan karena mencium bau parfum yang over melainkan melihat gue tanpa busana. Mungkin karena terlalu seksinya, membuat adik gue tidak sadarkan diri.
Langkah ketiga. Menjaga sikap. Jangan terlalu melambay kaya pria-pria alay yang suka joget cuci-cuci, jemur-jemur, cuci-cuci, jemur-jemur. Pokonya gituh terus sampe kiamat. Gue harus lebih terlihat cool dan kalem. Jangan sampai nantinya Renata ngelihat gue bergaya ngondek. Banyak hal yang harus gue perbaiki seperti saat jalan, gue harus terlihat gagah dan harus menyadari menyangga siku didepan perut saat jalan tidak boleh dilakukan pria cool. Siap, gue bisa ngelakuin itu.
Langkah keempat. Proses pendekatan segera dimulai. Biar lebih terlihat keren, pada bagian ini harus diiringi dengan sebuah background musik. Entah suara dentingan piano, atau musik menyeramkan. Kaya disinetron serial ditv. Pokonya super duper membahana, badai, gelegar, petir menyambar-nyambar. Dramatis abiss..
Seperti biasanya, perjalanan dari rumah menuju sekolah gue tempuh dengan berjalan kaki. Sekolah gue emang nggak jauh sama rumah, jadi nggak perlu yang namanya naik angkutan umum ataupun bawa kendaraan, cukup berjalan kaki selama lima belas menit gue sudah sampai disekolah tercinta. Dalam perjalan menuju sekolah biasanya gue memikirkan apakah pagi ini gue udah ngerjain PR atau belum, atau apakah pagi ini gue udah khayang apa belum. Loh yang kedua nggak penting banget. Tugas pekerjaan rumah memang sering banget gue tinggalkan, selain karena gue terlalu pintar hingga nggak pernah ngerti. Gue juga selalu memberikan pahala buat temen-temen yang mau gue contekin. Amal yang baik bukan ?. untungnya hari ini gue nggak punya tugas yang harus dikerjain. Sempet sedih karena nggak bisa ngasih pahala buat temen. Tetapi, pagi ini gue bisa memikirikan apa yang akan gue katakan saat bertemu Renata untuk pertama kalinya melakukan pendekatan.
Seperti, “Hy Ren, apa kabar ? boleh kenalan nggak ?” atau “hy Ren, boleh minta nomer poneselnya nggak ?” atau mungkin yang lebih ekstrim lagi. “Hy Ren, kamu pasti belum mandi yah ? terus hari ini pakai pakaian dalem warna apa ?”. mungkin pertanyaan terakhir yang lebih menantang. Yang ada ketika Renata dengar pertanyaan itu, dia  langsung ilfil dan nampar muka gue pake sendal jepit merek swalow yang enggak dicuci seminggu.
Sesampainya disekolah gue segera memulai pertempuran gue mendekati Renata. Gue ngaca sebentar di spion motor orang yang lagi parkir, memastikan muka Justin Bieber gue belum berubah menjadi muka Kiwil yang kena air keras.
Tahap awal, gue nungguin Renata didepan pintu kelasnya. Gue yakin Renata pagi itu belum datang, karena gue ngelirik jam tangan gue masih benar-benar pagi. Dalam keatusiasan gue nungguin Renata, seorang gadis menghampiri gue. Ia adalah Ima, temen semasa SD dulu. “ngapain ki disini ?” tanya Ima yang bingung ngeliat gue berdiri kaya patung selamat datang didepan kelas.
“nungguin seseorang..” jawab gue singkat.
“pacar yah ?”tanya Ima sambil memasang tampang sok imut persis tikus kegencet pintu.
“mau tau ajah deh”balas gue ketus.
Gue udah nggak perduliin si Ima yang mulai kepo itu. Pandangan gue masih terpusat pada jalan didepan gue, menanti sosok gadis pujaan yang hadir dari kejauhan. Sejurus kemudian, Renata mulai terlihat dari ujung pandangan gue, mata gue mulai berkelip, seolah baru ajah liat bidadari jatuh dari langit ketujuh. Gue mulai menyiapkan diri, hingga akhirnya Renata terlihat semakin dekat mendekati kelasnya. saat gue ngeliat Renata, jantung gue mau copot rasanya. Sosok yang gue taksir itu begitu terlihat sempurna. Rasanya saat itu pengen gue teriak sambil joget alat JKT 48 “i want you, i need you, i love you” begitu deh, tau bener apa enggak. Terpana gue melihat sosok Renata membuat gue hanya bisa mematung.
Langkah Rena makin mendekat, saat ia sudah benar-benar dekat gue mulai menyapa. “hy Rena ?” sapa gue. Rena hanya menoleh seraya tersenyum. “kenaaalliinn guuuu guuee kii ki” kata gue memperkenalkan diri. Terlalu geroginya terdengar seperti Azis gagap ngomong. Renata tersenyum kearah gue, kemudian tanpa meperdulikan gue, ia langsung masuk kedalam kelasnya begitu saja. “Oh My God, gue dicuekin” gerutu gue dalam hati.
Tahap pertama gagal total, berlanjut ketahap selanjutnya. Kali ini gue harus tahu nomer ponselnya, dengan gue tahu nomer ponselnya akan memudahkan gue dalam melakukan pendekatan. Langkah demi langkah proses mendapatkan nomer ponsel itu udah gue susun sedemikian rupa. Mulai dari pura-pura minjem hape dia buat nelpon pizza delivery sampai sengaja bikin hape gue pura-pura ilang, suapaya bisa minjem hape dia buat misscall nomer gue. Yang ada malah hapenya ilang benaran. Tadinya gue pengen pake cara terakhir, cara yang sangat cemerlang untuk dapet nomer ponsel Renata. Cara paling keren seantero jagat perfilman indonesia, cara yang nantinya akan dipake buat film terbaru The Raid season Ramadhan. Caranya begini, gue pura-pura menyamar sebagai bokapnya, terus gue culik dia saat dapet tugas jemput dia pas pulang sekolah. Setelah berhasil menculik, gue akan masukin dia kedalam kardus Indomie, kasih pita warna pink supaya lebih romantis. Kemudian gue kasih makan ikan asin, tapi buntutnya ajah, soalnya kepala sama badannya gue seneng banget. Lanjut, setelah gue masukin dia kedalam kardus. Gue bawa di ke Malaysia. Terus gue buka kardusnya dan tanya “nomer ponsel atau gue tinggal diatas menara Petronas ?”. Pasti Renata akan langsung ngasih nomer ponselnya. Karena gue tahu, Rena nggak seneng diatas menara Petronas. Dia lebih seneng berada diatas Monas, karena diatas dimonas katanya bisa lihat Masjid Istiqlal. Enggak  perlu keatas juga kali.
Berhubung gue enggak tahu jalan ke Malaysia, akhirnya cara paling dahsyat itu enggak gue lakuin. Gue pakai cara terakhir, yang paling cupu abis. Kehabisan akal untuk dapetin nomer ponselnya, akhirnya gue pakai cara menanya sama Tya.
Gue menhubungi Tya melalui telepon. “hallo...”sapa Tya setelah mengangkat telepon gue.
Karena saat itu gue super alay, jadi gue bales dengan bahasa alay berdasarkan tensis yang pernah gue pelajari. “helllloowwwww, inih enelan iaa” tanya gue.
“iyalah bego,..”sahut Tya sewot.
Sebelum gue dipiting jadi makan siang dia. langsung gue arahkan obrolan ke topik penting. “boleh minta nomernya Renata ?”tanya gue dengan antusias.
“tuh kan lo suka sama Renata. Buktinya sekarang lo minta nomer ponselnya ?”tanya Tya.
Mampus gue. oke, mungkin memang harusnya gue jujur sama manusia kepala kuda berkacamata ini kalau gue suka sama Renata. “iya, minta nomernya dong.”sahut gue pasrah.
“tuh kan, ciee, cieee...”kata Tya malah meledek. Untungnya ditelepon, kalau langsung mungkin dia udah gue telen.
“gue serius, lo punya nomer hapenya nggak ?”tanya gue lagi. Kali ini sambil ngemis-ngemis persis gembel belum makan tiga hari tiga malam.
“oke, bentar. Gue tanya sama Renatanya dulu, soalnya gue nggak enak ngasih nomer ke orang lain begitu ajah. Apalagi sama manusia cengcorang kaya lo”balas Tya. Kemudia hening.
Beberapa menit hening, akhirnya telepon kembali terhubung.
“sorry ki Renata nggak ngasih, katanya dia nggak suka dideketin sama cowok”kata Tya dengan nada seolah mengumumkan kalau ternyata selama ini gue adalah seorang wanita.
“oke ..”balas gue singkat. Gue nggak bisa memaksa.
“kikiii, lo nggak kenapa-kenapa kan ?”tanya Tya yang mulai mendengus kekecewaan gue.
“nggak, gue nggak kenapa-kenapa” balas gue mencoba tetap bersikap kalem.
“kirain lo sedih, terus mewek sambil gigitin kabel telepon”
“gue pake hape, enggak ada kabelnya !”
“yaudah kasih kabel dulu gih !”perintah Tya mulai nggak nyambung.
Gue hening. Sementara Tya masih terus memanggil-manggil gue dari ujung teleponnya. Memastikan gue nggak minum baigon pake sirup atau makan racun tikus pake nasi . Hingga teleponpun terputus.
---
Perjalanan gue mengejar Renata berhenti disitu. Mungkin karena gue udah harus mempersiapkan diri menghadapi ujian kenaikan kelas yang sebentar lagi berlangsung. Gue tidak boleh memikirkan hal lain yang akan mengganggu otak gue. Bagaimanapun sebego-begonya gue, kalau sudah menyankut hal ujian sekolah, gue harus berlaga sok belajar. Hingga akhirnya gue naik kekelas tiga SMP, meski dengan bantuan contekan yang gue tulis dikertas kecil-kecil sampe bejibun banyaknya. Bahkan temen gue lebih kreatif, ada yang menulisnya di paha, diperut sampe yang lebih keren nulis jawabannya di jidat. Jadi kalo butuh jawaban tinggal ngaca aja, keliatan deh jawabannya. Ya, yang pasti nulis jawaban bisa dimana aja. Asal jangan dipaha pengawasnya.
Dikelas selanjutnya, semua siwa dipisah dari kelas sebelumnya. Dikelas baru ini adalah setengah dari kelas lama ditambah setengah dari kelas lainnya. Jadi, ada beberapa teman-teman lama gue yang sekelas, ada juga yang harus bergabung dengan kelas lain.
Hari pertama gue masuk sekolah, setelah liburan semester membuat gue sangat antusias. Dikelas yang baru ini mungkin gue akan banyak dapet temen baru dan juga mungkin dapet taksiran baru. Saat gue melangkah masuk kelas, dengan ceriang sambil menari ala Dora The explorer yang malah lebih terlihat seperti peliharaanya boots. Gue shock, terkaget, hampir mati (lebay). Gue liat Rena duduk diantara bangku yang berjejer rapi didepan gue. Gue joget-joget india, begitu gembiranya melihat sosok yang gue taksir itu kini bisa sekelas dengan gue. Seperti mempertemukan Romeo dan Juliete, begitulah gue menggambarkan keromantisannya.
Mengetahui Renata kini telah sekelas sama gue, gue mulai bersemangat lagi untuk bisa medekatinya. Kali ini gue harus berusaha lebih keras, supaya Renata tahu kalau sebenarnya gue udah menyimpan perasaan ini begitu lama. Seolah enggak pernah pantang menyerah, semangat 45, gue mencoba mendekati Renata untuk kedua kalinya.
Modus (modal kerdus) pertama gue ada minjem pensil saat ujian. Ini sengaja gue lakukan untuk setidaknya bisa mengajaknya mengobrol. Gue menghampirinya.
            “Ren, boleh minjem pensil nggak ?” tanya gue menghampiri Rena yang sibuk membalik-balik lembaran buku tulisnya.
            “ih, miskin banget sih lu nggak punya pensil” jawab Rena ketus. Sumpah ini orang juteknya parah. Untuk ajah gue punya kesabaran tingkat SMA sederajat. Jadi gue bisa sabar menghadapinya. Oke, gue mulai mencoba tenang. Gue harus hati-hati menghadapi singa mengerikan yang bisa memangsa siapapun yang dilihatnya. Hari ini sepertinya Rena emang lagi mirip singa lapar.
“gue lupa bawa ren. Pinjemin dong”kata gue berusaha menghadapi sosok singa ini dengan tenang. Meski batin gue bilang, udah telen ajah sob. Gue menahan diri, gadis dihadapan gue ini adalah gadis yang gue taksir. Inget, gadis yang gue taksir. Oke, oke.
Untungnya sebelum gue memohon sambil guling-guling dilantai, Rena mengeluarkan pensil dari dalam kotak pensil berbentuk Hello kittynya, kemudian memberikannya ke gue. Pensil super mini yang besarnya sekelingking gue. Busyet, pensilnya mini banget, gue rasa ini lebih mirip korekan upil daripada pensil. Sebelum gue pergi meninggalkan mejanya, Renata sempat bikin sebuah larangan atas pensil berharganya itu. karena pensil itu merupakan pensil yang hanya akan hidup satu dalam seribu abad. Pensil itu hanya ada satu didunia. Didunia persilatan. Enggak nyambung. Inilah larangan yang harus dipenuhi untuk mengadopsi pensil super itu.
1.      Dilarang meminjamkan pensil itu ke teman lain.
2.      Jangan sampe hilang, patah atau rusak.
3.      Jangan buat ngupil atau diemut-emut.
4.      Kaloo...
“oke, gue jaga baik-baik pensil ini” potong gue sebelum Renata melanjutkan mantranya.
“bagus kalau begitu !” balas Rena.
Ujian pun akhirnya selesai. Namun entah apa yang membuat gue bisa lupa menaruh tuh pensil super mini milik Rena. Pensil super itu hilang dari kantong celana gue. Gue coba merogo kantong depan, kaga ada. Kantong belakang, kaga ada. Kantong baju, kaga ada. Kantong baju orang, kaga ada. Gue mulai panik. Mapus gue. Kembali mencoba tenang dengan mengingat-ingat. Tapi gue benar-benar lupa. Gue diem, kemudian jerit kaya orang kesetanan.
Dengan muka yang bersalah gue menghampiri Rena untuk menginformasikan berita duka ini. Berita ini adalah berita yang sangat menyedihkan. Berita yang bisa membuat singa, si raja hutan akan meraung-raung menangis.
“Rena, pensil mini lo ilang”kata gue masih terlihat tenang. Sekejap kemudian jadi tegang.
Rena terkaget, mulutnya terbuka menga-nga. “apa. Hilang ?”seru Rena dengan suara yang meninggi. Gue mulai panik. Gue tahu kalau Rena sedang marah, dia bisa melakukan hal apapun. Gue harus menyiapkan nafas panjang untuk lari, jika Rena akan menengkram dan melumat gue.
“iya, sorry ren. Habisnya kecil banget sih”kata gue memasang muka melas. “tapi, gue akan ganti kok sama yang baru” lanjut gue mencoba untuk bertanggung jawab atas kehilangan itu.
“gue enggak butuh diganti yang baru. Gue benci sama lo”putus Rena  pergi meninggalkan gue begitu saja. Gue benar-benar merasa bersalah banget atas kejadian ini. Satu hal yang begitu menyakitkan, sosok yang gue suka sekarang malah membenci gue. Sungguh menyedihkan.
---
            Modus (modal kerdus) selanjutnya adalah dengan berlaga sok baik didepan Renata untuk bisa mendapat perhatiannya. Tapi nyatanya itu susah banget buat dilakuin semenjak teragedi menyedihkan telah terjadi, yaitu saat menghilangkan pensil mini  Rena itu.
            Setiap kali gue akan melakukan hal baik didepan Rena itu malah membuatnya semakin menjauh, dan menunjukan kebenciannya terhadap gue. Pernah ada suatu kejadian. Ketika itu Rena jatuh didepan pintu kelas karena terpeleset, entah apa yang membuatnya terpleset, mungkin karena terlalu kagum melihat kegantengan gue yang berada tidak jauh dari pintu kelas. gue menghampiri dan mencoba untuk membantu membangunkannya. Sebelum sempat gue membantu, dia ternyata sudah bangun. Dengan kaki terpincang ia memaksa diri memasuki kelas. Sempat menoleh karah gue, kemudian pandangannya dibuang begitu saja, seperti baru saja bertemu dedemit. Padahal baru saja gue ingin menjadi seorang pahlawan buat dia, tapi jadinya malah gue kaya hantu yang mau gangguin dia. Kalau aja gue berhasil bangunin dia, gue akan jadi pahlawan. “Pahlawan bangunin jatoh” loh emang ada gitu ?.
            Jungkir balik gue ngerjar-ngejar Rena yang super jutek itu. juteknya udah benar-benar stadium akhir. Udah akut. Gue rasa Rena nggak bakalan punya pacar kalau punya sikap super jutek kaya gitu. Tapi gue menjadi semakin penasaran, sebenarnya apa yang melandasi Rena hingga ia seperti itu terhadap cowok yang mendekatinya.
            “apa sih sebenarnya yang membuat Rena tidak pernah mau dideketin sama gue !” tanya gue sama Tya.
            “rasa suka lo yang membuat dia nggak pernah mau didekati. Ia masih trauma dengan mantannya dulu, dan dia masih belum bisa membuka hati untuk menerima orang baru untuk bisa dekat dengannya” jelas Tya.
            Seketika hening. Gue mulai mengerti, rasanya gue harus berhenti melangkah. Gue tidak bisa memaksa Rena untuk menerima gue masuk dalam dunianya. Sikap Rena yang super cuek selama ini mungkin bagian dari caranya untuk membuat gue bosan mendekatinya. Hingga akhirnya, sejalan waktu perasaan suka itu akan menghilang dengan sendirinya.
            Rena telah berhasil merubah perasaan yang begitu mudahnya hadir menjadi begitu mudahnya hilang. Mungkin karena perasaan itu masih sebuah benih, yang apabila disiram dengan sebuah harapan maka akan jauh tumbuh.
Gue jadi teringat dengan pensil Rena yang hilang. Pensil mini yang sangat berati untuknya. Pensil yang mungkin memiliki banyak kenangan dibaliknya. Rena mungkin bisa dengan mudah menerima pensil yang hilang itu, tapi ia belum tentu bisa menerima pensil baru masuk dalam kotak pensilnya. Sampai nanti kotak pensil itu benar-benar kosong, dan menemukan pensil yang tepat serta beruntung untuk mengisinya.
Satu hal lagi, hal apapun sesuatu yang dititipkan orang lain kepada kita, selayaknya kita harus menjaganya dengan baik meski hanya sesuatu hal yang kecil. Karena mungkin sesuatu hal kecil itu begitu berarti. Kalau hal kecil saja belum bisa kita jaga dengan baik. Bagaima dengan hal yang begitu berharga dan sensitif, seperti halnya Perasaan.
***
 
Copyright 2014 Kiki Ramadhan