Dalam
masa muda gue yang suram, dimana saat gue mulai akil balik. Gue pernah
merasakan yang namanya tertarik dengan seorang gadis. Saat itulah gue mengerti,
ketertarikan dengan seorang gadis bisa membuat seseorang berubah drastis.
Seperti yang tadinya gue enggak suka ngaca, jadi sering ngaca. Alhasil, apapun
yang bisa mematulkan bayangan diri gue, pasti gue lirik. Kemudian gue merapikan
hal yang bisa gue rapihin agar terlihat lebih enak diliat. Seperti rambut yang
gue sisir pake jari-jari gue. Satu hal yang sampe sekarang nggak bisa gue
rapihin adalah muka gue, tiap gue ngaca enggak pernah sesekalipun gue melihat
tampang gue ini berubah menjadi Tom Cruise misalnya, atau kalau bisa mirip
Justin Bieber. Tapi rasanya untuk hal yang satu ini memang sudah cetakan dari
orang tua. Gue harus bersyukur, setidaknya muka kaya gini masih diterima hidup
di bumi.
Ketertarikan
gue dengan seorang gadis terjadi pada masa SMP, yaitu ketika gue duduk dikelas
dua. Seorang gadis yang gue taksir serta sangat beruntung itu bernama Renata
Alisya, gadis yang kecil, putih, imut dan manis. Jangan pikir ini semacam tikus
atau marmut. Oke, biar lebih jelas dan spesifik, tentunya seorang gadis
manusia. Ya, spesies manusia. Rena punya senyum yang begitu manis, sampai-sampai
senyum Rena itu bikin gue nggak bisa tidur semalaman. Apalagi kalau nggak
ngantuk.
Awal
pertemuan gue dengan Rena memang tidak semenarik pertemua dua orang lawan jenis
dalam serial tv atau sinetron. Biasanya dalam serial tv atau sinetron seorang
pria bertemu dengan gadis idamannya ditempat yang spesial juga. Seperti taman,
restaurant, mall atau bahkan bioskop. Pertemuan kedua pasangan itu biasanya
diawali dengan si cowok nabrak cewek, kemudian kenalan, minta nomer handphone,
sms dan teleponan, ngajakin dinner, kemudia jadian. Berbeda dengan gue, bertemu
Rena di depan gerbang sekolah, tempat yang sungguh nggak ada romantisnya. Iyalah,
yang ada pedangang asongan nawarin ciki gopean, sama mobil motor lalu lalang.
Saat itu gue liat Rena berdiri dengan anggunya di depan gerbang sembari
memainkan ponselnya. Gue melirik kearah Rena sambil menebar senyum, meski saat
itu terlihat menjijikan. Tapi gue tetap berlaga cool seperti Raffi Ahmad yang
malah terlihat seperti abis makan lem tikus. Rena kemudian melirik kearah gue,
mungkin dia bingung melihat cowok kurus, dekil senyam-senyum, kasian ngeliat
tampang melas gue, Rena membalas senyuman gue. Saat itulah gue merasa jatuh
hati dengan sosok gadis bernama Renata.
Renata
adalah sosok pertama dalam kehidupan percintaan gue yang gue taksir. Saat itu
umur gue masih tiga belas tahun. Bisa dibayangkan betapa imutnya gue saat itu.
Diumur gue yang sudah menginjak kepala dua ini saja terkadang masih suka
dibilang anak SMP. Pernah ada suatu kejadian, ketika itu gue lagi nonton bola
sama Ines, ade kandung gue yang masih SMP dilapangan bola belakang rumah. Meski
gue nggak tahu club apa yang sedang tanding saat itu, gue tetap nonton karena
setidaknya disana ramai, soalnya kasihan adik gue dirumah terus nanti bisa
jamuran. Bukan masalah adik guenya, tapi kasian jamurnya. Harus menjamuri adik
gue. Oke lanjut, saat gue nonton bola diantara keramaian, sengaja gue pegang
tangan adik gue supaya dia nggak kabur karena takutnya kalau kabur bisa
ditemukan warga setempat sedang ngemilin tiang listrik atau joget-joget diatas
tower listrik. Saat momen romantis itu, tepatnya saat gue pegang tangan ade
gue, seorang bapak setengah baya bilang “pacaran ya ?”. Gue senyum sok imut
sambil menahan tawa. Pengen gue balas “bukan, dia nyokap gue !” tapi gue
urungkan, lebih baik enggak usah perduliin omongan enggak penting itu. semenjak
perkataan sibapak itu gue jadi terbayang, apakah muka gue kemudaan atau muka
adik gue yang ketuaan. Mungkin kalau saja si bapak tahu umur gue dan adik gue
yang selisih lumayan jauh, jadi seperti om-om yang suka daun muda.
Balik
lagi ke Renata, sosok gadis yang gue taksir itu. setelah tatap-tatapan menjijikan
didepan gerbang saat itu, gue mulai melakukan pendekatan. Seperti yang biasa
dilakukan umat manusia saat tertarik dengan lawan jenisnya. Ia akan rela
melakukan apapun untuk bisa dekat dengan seseorang yang ditaksirnya.
Rasa
penasaran gue mulai muncul, saat itu gue belum tahu siapa nama dia, rumah dia
dimana, makanan kesuakaanya apa, musik favoritenya apa, sampai warna pakaian
dalamnya apa. Ups, untuk yang terakhir kayanya nggak perlu deh. Rena memang
terlihat pendiam saat gue nguntilin dia. Maksud hati ingin mengetahui nama dia
secara langsung akhirnya harus kandas. Terlebih karena gue masih suka gerogi
saat bertatapan dengan dia. Setelah gue menjadi wartawan gadungan dengan
menanya-nanya nama dia dari temen-temennya. gue pun berhasil tahu nama gadis
manis itu. Korban dari wawancara oleh wartawan gadungan seperti gue adalah Tya,
seorang gadis berkacamata yang gue kenal dan gue lihat sering jalan bareng Renata.
“Tya, nama cewek yang sering jalan sama lo itu
siapa ?”tanya gue sama Tya saat itu sambil nunjuk-nunjuk Rena.
“oh,
yang itu namanya Renata. Kenapa, lo suka ya sama dia ?” tanya Tya curiga.
Itulah
hal yang sering ditanyakan ketika seseorang cowok menanyakan nama seorang cewek
yang tidak dikenalnya. Terkadang cowok sering dicurigai tertarik dengan cewek
yang ditanyakan. Padahal itu belum tentu. Memang pada kasus gue, pertanyaan itu
memang benar, bahwa gue tertarik sama Renata. Namun mungkin dalam kasus lain,
seorang cowok nanya nama cewek kepada seseorang hanya untuk sekedar tahu, atau
mungkin nanya nama untuk digunakan sebagai nama hamster peliharaanya. Nggak
jelas memang.
Ketertarikan
gue dengan Renata, membuat gue harus merubah total penampilan. Semenjak itu, gue
jadi mandi setiap berangkat sekolah, pakai jel rambut, dan pakai minyak wangi
overdosis yang baunya bisa bikin satu kelas pingsan. Hal-hal itu tentunya gue
lakukan agar Renata bisa melirik ke gue, atau setidaknya bisa beruntung
ditaksir sama cowok seganteng gue.
Gue
jadi bangun pagi untuk make over penampilan gue. Setelah mandi sekitar sejam
gue mulai menata penampilan. Gue melirik kaca “Astagfirullah..” lah kenapa gue
harus kaget ngeliat tampang gue sendiri. Ya, mungkin karena tampang gue emang
ancur abis. Oke, kita mulai make over penampilan.
Langkah pertama.
Pakai jel rambut, kemudian menata rambut agar lebih terlihat seperti artis
Boyband yang lagi ngetop itu. Hasilnya keren abiss, kelimis-kelimis jijay
gituh. Keren banget, mirip sama personil boyband yang personilnya ada tujuh
itu, gue nggak boleh nyebut nama karena nanti mereka bangga dimirip-miripin
sama gue. Gue kasih tahu inisialnya aja, SMASH.
Langkah kedua.
Pakai minyak wangi. Biasanya cewek seneng sama cowok yang wangi jadi tanpa
pikir panjang gue semprot seluruh badan gue dengan minyak wangi yang mereknya
nama terowongan di Jakarta itu (baca: Casablanca). Gue sempet curiga, kalau
pakai minyak wangi itu gue akan terlihat menyeramkan kaya terowongan itu. serem
abiss,,.. padahal kenyataanya itu adalah nama sebuah tempat dibagian permukaan
bumi lain. Maklum norak. Gue pun
menyemprot seluruh tubuh seksi gue dengan minyak wangi itu secara membabi buta,
bahkan gue udah nggak peduli sebanyak apa gue nyemprot. Alhasil, terlihat adik
gue pingsan saat masuk kamar gue. Ternyata, diusut-usut, adik gue pingsan saat
masuk kamar gue bukan karena mencium bau parfum yang over melainkan melihat gue
tanpa busana. Mungkin karena terlalu seksinya, membuat adik gue tidak sadarkan
diri.
Langkah ketiga.
Menjaga sikap. Jangan terlalu melambay kaya pria-pria alay yang suka joget
cuci-cuci, jemur-jemur, cuci-cuci, jemur-jemur. Pokonya gituh terus sampe
kiamat. Gue harus lebih terlihat cool dan kalem. Jangan sampai nantinya Renata
ngelihat gue bergaya ngondek. Banyak hal yang harus gue perbaiki seperti saat jalan,
gue harus terlihat gagah dan harus menyadari menyangga siku didepan perut saat
jalan tidak boleh dilakukan pria cool. Siap, gue bisa ngelakuin itu.
Langkah keempat.
Proses pendekatan segera dimulai. Biar lebih terlihat keren, pada bagian ini
harus diiringi dengan sebuah background musik. Entah suara dentingan piano,
atau musik menyeramkan. Kaya disinetron serial ditv. Pokonya super duper
membahana, badai, gelegar, petir menyambar-nyambar. Dramatis abiss..
Seperti
biasanya, perjalanan dari rumah menuju sekolah gue tempuh dengan berjalan kaki.
Sekolah gue emang nggak jauh sama rumah, jadi nggak perlu yang namanya naik
angkutan umum ataupun bawa kendaraan, cukup berjalan kaki selama lima belas
menit gue sudah sampai disekolah tercinta. Dalam perjalan menuju sekolah
biasanya gue memikirkan apakah pagi ini gue udah ngerjain PR atau belum, atau
apakah pagi ini gue udah khayang apa belum. Loh yang kedua nggak penting
banget. Tugas pekerjaan rumah memang sering banget gue tinggalkan, selain
karena gue terlalu pintar hingga nggak pernah ngerti. Gue juga selalu memberikan
pahala buat temen-temen yang mau gue contekin. Amal yang baik bukan ?.
untungnya hari ini gue nggak punya tugas yang harus dikerjain. Sempet sedih
karena nggak bisa ngasih pahala buat temen. Tetapi, pagi ini gue bisa
memikirikan apa yang akan gue katakan saat bertemu Renata untuk pertama kalinya
melakukan pendekatan.
Seperti,
“Hy Ren, apa kabar ? boleh kenalan nggak ?” atau “hy Ren, boleh minta nomer
poneselnya nggak ?” atau mungkin yang lebih ekstrim lagi. “Hy Ren, kamu pasti
belum mandi yah ? terus hari ini pakai pakaian dalem warna apa ?”. mungkin
pertanyaan terakhir yang lebih menantang. Yang ada ketika Renata dengar
pertanyaan itu, dia langsung ilfil dan
nampar muka gue pake sendal jepit merek swalow yang enggak dicuci seminggu.
Sesampainya
disekolah gue segera memulai pertempuran gue mendekati Renata. Gue ngaca
sebentar di spion motor orang yang lagi parkir, memastikan muka Justin Bieber
gue belum berubah menjadi muka Kiwil yang kena air keras.
Tahap
awal, gue nungguin Renata didepan pintu kelasnya. Gue yakin Renata pagi itu
belum datang, karena gue ngelirik jam tangan gue masih benar-benar pagi. Dalam
keatusiasan gue nungguin Renata, seorang gadis menghampiri gue. Ia adalah Ima,
temen semasa SD dulu. “ngapain ki disini ?” tanya Ima yang bingung ngeliat gue
berdiri kaya patung selamat datang didepan kelas.
“nungguin
seseorang..” jawab gue singkat.
“pacar
yah ?”tanya Ima sambil memasang tampang sok imut persis tikus kegencet pintu.
“mau
tau ajah deh”balas gue ketus.
Gue
udah nggak perduliin si Ima yang mulai kepo itu. Pandangan gue masih terpusat
pada jalan didepan gue, menanti sosok gadis pujaan yang hadir dari kejauhan.
Sejurus kemudian, Renata mulai terlihat dari ujung pandangan gue, mata gue
mulai berkelip, seolah baru ajah liat bidadari jatuh dari langit ketujuh. Gue
mulai menyiapkan diri, hingga akhirnya Renata terlihat semakin dekat mendekati
kelasnya. saat gue ngeliat Renata, jantung gue mau copot rasanya. Sosok yang
gue taksir itu begitu terlihat sempurna. Rasanya saat itu pengen gue teriak sambil
joget alat JKT 48 “i want you, i need you, i love you” begitu deh, tau bener
apa enggak. Terpana gue melihat sosok Renata membuat gue hanya bisa mematung.
Langkah
Rena makin mendekat, saat ia sudah benar-benar dekat gue mulai menyapa. “hy
Rena ?” sapa gue. Rena hanya menoleh seraya tersenyum. “kenaaalliinn guuuu
guuee kii ki” kata gue memperkenalkan diri. Terlalu geroginya terdengar seperti
Azis gagap ngomong. Renata tersenyum kearah gue, kemudian tanpa meperdulikan
gue, ia langsung masuk kedalam kelasnya begitu saja. “Oh My God, gue dicuekin”
gerutu gue dalam hati.
Tahap
pertama gagal total, berlanjut ketahap selanjutnya. Kali ini gue harus tahu
nomer ponselnya, dengan gue tahu nomer ponselnya akan memudahkan gue dalam
melakukan pendekatan. Langkah demi langkah proses mendapatkan nomer ponsel itu
udah gue susun sedemikian rupa. Mulai dari pura-pura minjem hape dia buat
nelpon pizza delivery sampai sengaja bikin hape gue pura-pura ilang, suapaya
bisa minjem hape dia buat misscall nomer gue. Yang ada malah hapenya ilang
benaran. Tadinya gue pengen pake cara terakhir, cara yang sangat cemerlang
untuk dapet nomer ponsel Renata. Cara paling keren seantero jagat perfilman
indonesia, cara yang nantinya akan dipake buat film terbaru The Raid season
Ramadhan. Caranya begini, gue pura-pura menyamar sebagai bokapnya, terus gue
culik dia saat dapet tugas jemput dia pas pulang sekolah. Setelah berhasil
menculik, gue akan masukin dia kedalam kardus Indomie, kasih pita warna pink supaya
lebih romantis. Kemudian gue kasih makan ikan asin, tapi buntutnya ajah,
soalnya kepala sama badannya gue seneng banget. Lanjut, setelah gue masukin dia
kedalam kardus. Gue bawa di ke Malaysia. Terus gue buka kardusnya dan tanya
“nomer ponsel atau gue tinggal diatas menara Petronas ?”. Pasti Renata akan
langsung ngasih nomer ponselnya. Karena gue tahu, Rena nggak seneng diatas
menara Petronas. Dia lebih seneng berada diatas Monas, karena diatas dimonas
katanya bisa lihat Masjid Istiqlal. Enggak perlu keatas juga kali.
Berhubung
gue enggak tahu jalan ke Malaysia, akhirnya cara paling dahsyat itu enggak gue
lakuin. Gue pakai cara terakhir, yang paling cupu abis. Kehabisan akal untuk
dapetin nomer ponselnya, akhirnya gue pakai cara menanya sama Tya.
Gue
menhubungi Tya melalui telepon. “hallo...”sapa Tya setelah mengangkat telepon
gue.
Karena
saat itu gue super alay, jadi gue bales dengan bahasa alay berdasarkan tensis yang
pernah gue pelajari. “helllloowwwww, inih enelan iaa” tanya gue.
“iyalah
bego,..”sahut Tya sewot.
Sebelum
gue dipiting jadi makan siang dia. langsung gue arahkan obrolan ke topik penting.
“boleh minta nomernya Renata ?”tanya gue dengan antusias.
“tuh
kan lo suka sama Renata. Buktinya sekarang lo minta nomer ponselnya ?”tanya
Tya.
Mampus
gue. oke, mungkin memang harusnya gue jujur sama manusia kepala kuda
berkacamata ini kalau gue suka sama Renata. “iya, minta nomernya dong.”sahut
gue pasrah.
“tuh
kan, ciee, cieee...”kata Tya malah meledek. Untungnya ditelepon, kalau langsung
mungkin dia udah gue telen.
“gue
serius, lo punya nomer hapenya nggak ?”tanya gue lagi. Kali ini sambil
ngemis-ngemis persis gembel belum makan tiga hari tiga malam.
“oke,
bentar. Gue tanya sama Renatanya dulu, soalnya gue nggak enak ngasih nomer ke
orang lain begitu ajah. Apalagi sama manusia cengcorang kaya lo”balas Tya. Kemudia
hening.
Beberapa
menit hening, akhirnya telepon kembali terhubung.
“sorry
ki Renata nggak ngasih, katanya dia nggak suka dideketin sama cowok”kata Tya
dengan nada seolah mengumumkan kalau ternyata selama ini gue adalah seorang
wanita.
“oke
..”balas gue singkat. Gue nggak bisa memaksa.
“kikiii,
lo nggak kenapa-kenapa kan ?”tanya Tya yang mulai mendengus kekecewaan gue.
“nggak,
gue nggak kenapa-kenapa” balas gue mencoba tetap bersikap kalem.
“kirain
lo sedih, terus mewek sambil gigitin kabel telepon”
“gue
pake hape, enggak ada kabelnya !”
“yaudah
kasih kabel dulu gih !”perintah Tya mulai nggak nyambung.
Gue
hening. Sementara Tya masih terus memanggil-manggil gue dari ujung teleponnya.
Memastikan gue nggak minum baigon pake sirup atau makan racun tikus pake nasi .
Hingga teleponpun terputus.
---
Perjalanan
gue mengejar Renata berhenti disitu. Mungkin karena gue udah harus
mempersiapkan diri menghadapi ujian kenaikan kelas yang sebentar lagi
berlangsung. Gue tidak boleh memikirkan hal lain yang akan mengganggu otak gue.
Bagaimanapun sebego-begonya gue, kalau sudah menyankut hal ujian sekolah, gue
harus berlaga sok belajar. Hingga akhirnya gue naik kekelas tiga SMP, meski dengan
bantuan contekan yang gue tulis dikertas kecil-kecil sampe bejibun banyaknya. Bahkan
temen gue lebih kreatif, ada yang menulisnya di paha, diperut sampe yang lebih
keren nulis jawabannya di jidat. Jadi kalo butuh jawaban tinggal ngaca aja,
keliatan deh jawabannya. Ya, yang pasti nulis jawaban bisa dimana aja. Asal
jangan dipaha pengawasnya.
Dikelas
selanjutnya, semua siwa dipisah dari kelas sebelumnya. Dikelas baru ini adalah
setengah dari kelas lama ditambah setengah dari kelas lainnya. Jadi, ada beberapa
teman-teman lama gue yang sekelas, ada juga yang harus bergabung dengan kelas
lain.
Hari
pertama gue masuk sekolah, setelah liburan semester membuat gue sangat
antusias. Dikelas yang baru ini mungkin gue akan banyak dapet temen baru dan
juga mungkin dapet taksiran baru. Saat gue melangkah masuk kelas, dengan
ceriang sambil menari ala Dora The explorer yang malah lebih terlihat seperti
peliharaanya boots. Gue shock, terkaget, hampir mati (lebay). Gue liat Rena
duduk diantara bangku yang berjejer rapi didepan gue. Gue joget-joget india,
begitu gembiranya melihat sosok yang gue taksir itu kini bisa sekelas dengan
gue. Seperti mempertemukan Romeo dan Juliete, begitulah gue menggambarkan
keromantisannya.
Mengetahui
Renata kini telah sekelas sama gue, gue mulai bersemangat lagi untuk bisa
medekatinya. Kali ini gue harus berusaha lebih keras, supaya Renata tahu kalau
sebenarnya gue udah menyimpan perasaan ini begitu lama. Seolah enggak pernah
pantang menyerah, semangat 45, gue mencoba mendekati Renata untuk kedua
kalinya.
Modus
(modal kerdus) pertama gue ada minjem pensil saat ujian. Ini sengaja gue
lakukan untuk setidaknya bisa mengajaknya mengobrol. Gue menghampirinya.
“Ren, boleh minjem pensil nggak ?”
tanya gue menghampiri Rena yang sibuk membalik-balik lembaran buku tulisnya.
“ih, miskin banget sih lu nggak
punya pensil” jawab Rena ketus. Sumpah ini orang juteknya parah. Untuk ajah gue
punya kesabaran tingkat SMA sederajat. Jadi gue bisa sabar menghadapinya. Oke,
gue mulai mencoba tenang. Gue harus hati-hati menghadapi singa mengerikan yang
bisa memangsa siapapun yang dilihatnya. Hari ini sepertinya Rena emang lagi
mirip singa lapar.
“gue
lupa bawa ren. Pinjemin dong”kata gue berusaha menghadapi sosok singa ini
dengan tenang. Meski batin gue bilang, udah telen ajah sob. Gue menahan diri,
gadis dihadapan gue ini adalah gadis yang gue taksir. Inget, gadis yang gue
taksir. Oke, oke.
Untungnya
sebelum gue memohon sambil guling-guling dilantai, Rena mengeluarkan pensil dari
dalam kotak pensil berbentuk Hello kittynya, kemudian memberikannya ke gue. Pensil
super mini yang besarnya sekelingking gue. Busyet, pensilnya mini banget, gue
rasa ini lebih mirip korekan upil daripada pensil. Sebelum gue pergi
meninggalkan mejanya, Renata sempat bikin sebuah larangan atas pensil
berharganya itu. karena pensil itu merupakan pensil yang hanya akan hidup satu
dalam seribu abad. Pensil itu hanya ada satu didunia. Didunia persilatan. Enggak
nyambung. Inilah larangan yang harus dipenuhi untuk mengadopsi pensil super
itu.
1. Dilarang
meminjamkan pensil itu ke teman lain.
2. Jangan
sampe hilang, patah atau rusak.
3. Jangan
buat ngupil atau diemut-emut.
4. Kaloo...
“oke,
gue jaga baik-baik pensil ini” potong gue sebelum Renata melanjutkan mantranya.
“bagus
kalau begitu !” balas Rena.
Ujian
pun akhirnya selesai. Namun entah apa yang membuat gue bisa lupa menaruh tuh
pensil super mini milik Rena. Pensil super itu hilang dari kantong celana gue.
Gue coba merogo kantong depan, kaga ada. Kantong belakang, kaga ada. Kantong
baju, kaga ada. Kantong baju orang, kaga ada. Gue mulai panik. Mapus gue.
Kembali mencoba tenang dengan mengingat-ingat. Tapi gue benar-benar lupa. Gue
diem, kemudian jerit kaya orang kesetanan.
Dengan
muka yang bersalah gue menghampiri Rena untuk menginformasikan berita duka ini.
Berita ini adalah berita yang sangat menyedihkan. Berita yang bisa membuat
singa, si raja hutan akan meraung-raung menangis.
“Rena,
pensil mini lo ilang”kata gue masih terlihat tenang. Sekejap kemudian jadi
tegang.
Rena
terkaget, mulutnya terbuka menga-nga. “apa. Hilang ?”seru Rena dengan suara
yang meninggi. Gue mulai panik. Gue tahu kalau Rena sedang marah, dia bisa
melakukan hal apapun. Gue harus menyiapkan nafas panjang untuk lari, jika Rena
akan menengkram dan melumat gue.
“iya,
sorry ren. Habisnya kecil banget sih”kata gue memasang muka melas. “tapi, gue
akan ganti kok sama yang baru” lanjut gue mencoba untuk bertanggung jawab atas
kehilangan itu.
“gue
enggak butuh diganti yang baru. Gue benci sama lo”putus Rena pergi meninggalkan gue begitu saja. Gue benar-benar
merasa bersalah banget atas kejadian ini. Satu hal yang begitu menyakitkan,
sosok yang gue suka sekarang malah membenci gue. Sungguh menyedihkan.
---
Modus (modal kerdus) selanjutnya
adalah dengan berlaga sok baik didepan Renata untuk bisa mendapat perhatiannya.
Tapi nyatanya itu susah banget buat dilakuin semenjak teragedi menyedihkan
telah terjadi, yaitu saat menghilangkan pensil mini Rena itu.
Setiap kali gue akan melakukan hal
baik didepan Rena itu malah membuatnya semakin menjauh, dan menunjukan
kebenciannya terhadap gue. Pernah ada suatu kejadian. Ketika itu Rena jatuh
didepan pintu kelas karena terpeleset, entah apa yang membuatnya terpleset,
mungkin karena terlalu kagum melihat kegantengan gue yang berada tidak jauh
dari pintu kelas. gue menghampiri dan mencoba untuk membantu membangunkannya.
Sebelum sempat gue membantu, dia ternyata sudah bangun. Dengan kaki terpincang
ia memaksa diri memasuki kelas. Sempat menoleh karah gue, kemudian pandangannya
dibuang begitu saja, seperti baru saja bertemu dedemit. Padahal baru saja gue
ingin menjadi seorang pahlawan buat dia, tapi jadinya malah gue kaya hantu yang
mau gangguin dia. Kalau aja gue berhasil bangunin dia, gue akan jadi pahlawan.
“Pahlawan bangunin jatoh” loh emang ada gitu ?.
Jungkir balik gue ngerjar-ngejar
Rena yang super jutek itu. juteknya udah benar-benar stadium akhir. Udah akut.
Gue rasa Rena nggak bakalan punya pacar kalau punya sikap super jutek kaya
gitu. Tapi gue menjadi semakin penasaran, sebenarnya apa yang melandasi Rena
hingga ia seperti itu terhadap cowok yang mendekatinya.
“apa sih sebenarnya yang membuat
Rena tidak pernah mau dideketin sama gue !” tanya gue sama Tya.
“rasa suka lo yang membuat dia nggak
pernah mau didekati. Ia masih trauma dengan mantannya dulu, dan dia masih belum
bisa membuka hati untuk menerima orang baru untuk bisa dekat dengannya” jelas
Tya.
Seketika hening. Gue mulai mengerti,
rasanya gue harus berhenti melangkah. Gue tidak bisa memaksa Rena untuk
menerima gue masuk dalam dunianya. Sikap Rena yang super cuek selama ini
mungkin bagian dari caranya untuk membuat gue bosan mendekatinya. Hingga
akhirnya, sejalan waktu perasaan suka itu akan menghilang dengan sendirinya.
Rena telah berhasil merubah perasaan
yang begitu mudahnya hadir menjadi begitu mudahnya hilang. Mungkin karena perasaan
itu masih sebuah benih, yang apabila disiram dengan sebuah harapan maka akan
jauh tumbuh.
Gue
jadi teringat dengan pensil Rena yang hilang. Pensil mini yang sangat berati
untuknya. Pensil yang mungkin memiliki banyak kenangan dibaliknya. Rena mungkin
bisa dengan mudah menerima pensil yang hilang itu, tapi ia belum tentu bisa
menerima pensil baru masuk dalam kotak pensilnya. Sampai nanti kotak pensil itu
benar-benar kosong, dan menemukan pensil yang tepat serta beruntung untuk
mengisinya.
Satu
hal lagi, hal apapun sesuatu yang dititipkan orang lain kepada kita, selayaknya
kita harus menjaganya dengan baik meski hanya sesuatu hal yang kecil. Karena mungkin
sesuatu hal kecil itu begitu berarti. Kalau hal kecil saja belum bisa kita jaga
dengan baik. Bagaima dengan hal yang begitu berharga dan sensitif, seperti halnya
Perasaan.
***