30 Hari Mencari Jodoh



Aku terbangun, waktu menujukan pukul 2 dini hari, segera aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mensucikan diri dengan berwudhu. Di sepertiga malam ini aku akan melakukan kegiatan rutinku, yaitu melakukan shalat Tahajud. Dengan semangat kubentangkan sajadah, kuhadapakan diriku kearah kiblat, seraya mengangkat kedua tangan mengucap takbir “Allahhu Akbar” lalu kulipat kedua tanganku diantara dada dan perut. Meski kantuk begitu meyerangku kuat, aku mencoba mengkhusukan diri bercinta dengan sang khalik, Allah Subahanahu Wata A’la.
            Selepas melaksanakan shalat, kuraih sebuah Al-qur’an diatas meja belajar.Kemudian kubuka tiap lembar Al-quran dengan lembut, dengan nada agak sayup aku membacanya. Meski terdengar lirih namun kusemangatkan diri melantunkan firman-firman Allah itu.
            Waktu tidak terasa menunjuk pukul 4 pagi, aku mengakhiri bacaanku, setelahnya kutadahkan kedua tangan setingi-tingginya dan mulai berseru kepada Tuhan semesta alam.” Ya Allah, semoga hamba selalu istiqomah berada dijalanmu, dan tuntunlah hambamu kepada seorang yang akan mendampingi hambaMu menyempurnakan AgamaMu. Amin, Amin Ya Rabbal A’lamin”. Begitulah doa yang selalu terucap dipenghujung sujud malamku. Doa yang menjadi harapanku, serta doa yang menjadi tujuan hidupku kini. Mencari pendamping hidup untuk menjalakan sunnah Rasulullah SAW.
            Terbesit teringat perkataan ibunda. Sebuah perkataan yang seakan mendesak diriku. “kapan kamu menikah nak Ikhwan, apa belum ada Akhwat yang cocok denganmu”. Sejenak kuresapi, hingga tidak terasa aku meneteskan air mata.
            Jika dipikirkan, memang sebenarnya aku telah matang melaksanakan jenjang pernikahan. Diumurku yang terbilang sudah kepala tiga, seharusnya aku telah membina sebuah rumah tangga. Selain karena belumnya menemukan Akhwat yang tepat, kendalaku selanjutnya adalah bagaimana kelak  menafkahi istri dan anak-anakku nanti. Pekerjaan yang tidak tetap membuatku berfikir ulang untuk memutuskan akhir lajangku.
            “jangan terlalu dipikirkan, Allah punya jalan untuk orang-orang yang berusaha”. Ibu menyemangatiku agar tidak terlalu pesimis menghadapinya. Dengan antusias, Ibu melantunkan sepenggal Ayat Al-Qur’an kemudian mengartikan.
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Nur: 32).
Dengan lirih ibu kembali berkata“ibu harap disegerakan, karena ibu ingin melihatmu menikah dan meminang cucu sebelum ibu dipanggil kepangkuan sang Khalik”.
 “Masya Allah Ibu, jagan berbicara seperti itu. Ikhwan belum siap jika harus ditinggalkan ibu. Begini saja, setelah wisuda nanti. Ikhwan janji segera mempersiapkan pernikahan” kataku dengan yakinnya.
Tersadar dalam lamunan, kemudian kulirikkan mataku kearah kalender yang tergantung ditembok kamarku, tepat disebelah sebuah cermin kecil disamping pintu. Lirikku tertuju pada tanggal yang aku lingkari, tanggal dimana wisudaku dilakasanakan, serta saat aku harus menyiapkan diri melaksanakan pernikahan sesuai janji yang terlontar kepada ibu dulu. Tertegun hatiku, ketika menyadari bahwasanya waktu yang kuidamkan itu sudah tidak lama lagi. Terhitung sekitar 30 hari, atau sebulan lagi.”Subahanallah”seruku. Waktu begitu cepat berlalu, bahkan aku belum sama sekali menemukan jodohku.
            Terlalu asyiknya berlarut dalam lamunan, hingga suara adzan subuh pun telah terdengar berkumandang. Segera aku bangkit, melangkah menuju masjid terdekat untuk menunaikan kewajibanku. Kembali bersujud kepada penguasa alam. Allah Subahanahu Wata A’la.
---
            Waktu sebulan bukan merupakan waktu yang cukup untuk menetukan pedamping hidup. Butuh waktu panjang agar diriku benar-benar siap dan matang menjalani pernikahan. Perkara menikah bukan hal mudah, tentunya aku harus siap dari segi materil dan terlebih lagi dari segi moral. Agar nantinya aku bisa menjadi seorang yang selain bisa mengimami, juga bisa membawa sebuah kebahagiaan demi terciptanya keluarga Sakinah, Mawadah, Warahmah.
            Setiap kaum yang telah matang melaksanakan pernikahan, tentunya ingin sekali menyegerakan sebagai suatu kesempurnaan ibadah. Namun selayaknya, tentu harus memperhatikan aspek-aspek penting dan tujuan dari pernikahan itu sendiri.
Tujuan menikah sendiri selain merupakan penyaluran hasrat biologis kepada lawan jenis, guna melahirkan generasi-generasi baru untuk melanjutkan kekhalifaan manusia di muka bumi. Pernikahan juga bertujuan moral sebagai suatu pengabdian kepada sang khalik. Sakralnya tujuan pernikahan itu membuatnya bukan hanya sekedar ujicoba yang apabila tidak mampu melanjutkan dapat diberhentikan dengan perceraian. Persefsi seperti itulah yang membuat pernikahaan terlihat hanya sebagai persoalan hasrat biologis semata.
            Hasrat biologis merupakan kendala besar kaum muda apabila berhadapan dengan seorang Akhwat. Begitu halnya diriku, terkadang sering terlena terhadap sosok keindahan kaum Akhwat. Menatap mereka berlama-lama, memandang keindahan solek tubuh mereka. Padahal nyatanya semua itu merupakan hal yang diharamkan agama. Sebagai seorang lelaki yang juga memilik harsrat itu, aku hanya bisa meredamnya dengan melakukan puasa, seperti tuntunan rasulullah. Karena hanya dengan berpuasalah aku bisa menjaga perbuatan dan pandanganku.
            Secara garis besar pernikahan butuh sebuah kematangan dan kesiapan mental bagi yang akan melaksanakan. Kematangan dan kesiapan itulah yang menjadikan pernikahan berada ditataran keseriusan. Agar pernikhan yang dijalankan, bukan hanyak memperhatikan aspek biologi, melainkan juga memperhatikan sisi aspek psikologis.
            Aku terus mencari apa dan bagaimana pernikahan  harus dilaksanakan, agar aku benar-benar mengerti tentang jenjang sakral itu. Lalu, pertanyaanku sekarang adalah siapakah jodohku ?.
---
            Hari terus berganti, waktu terus berputar hingga hari ke-15 sebelum wisudaku dan persiapan pernikahan itu. Aku Belum juga menemukan siapakah jodohku. Doa yang selalu kupanjatkan dipenghujung sujud malamku belum juga dikabulkan sang pencipta. Meski begitu, aku yakin Allah mendengar segala harapanku, dan kelak akan mengabulkannya.
            Disisa-sisa hari itu, yang tentunya belum cukup untuk aku menemukan bahkan memutuskan sesorang untuk menjadi pendamping hidupku. Aku hanya bisa terus berikhtiar dan menyerahkan keputusan akhirnya kepada Allah.
            “Kringg,..kringgg,..”ponselku berdering. Aku meraihnya, kemudian segera mengangkatnya.
            “assalamualaikum nak Ikhwan, bagaimana kabarmu ?”kata seorang diujung telepone. Suaranya tidak asing, ialah Ibundaku.
            “walaikumsalam, baik ibunda. Bagaimana dengan  kabar ibunda ?”balasku.
            “alhamdullilah baik. Bagaimana persiapan pernikahanmu, apa sudah menemukan jodohmu ?”
            “belum ibunda, Ikhwan masih terus berikhtiar dan berdoa”
            “yasudah, semoga kamu selalu dalam lindungan Allah, dan dipertemukan dengan jodohmu”
            “amin ya rabbal a’lamin”
            Lagi-lagi keinginan ibunda untuk melihat anak bungsunya menikah masih belum menemukan titik terang. Bahkan aku belum sama sekali melaksanakan pendekatan kepada seorang Akhwat, menanya kesiapan jika aku menikahinya, kemudian meminangnya, setelahnya melaksanakan nikah gantung, serta berlanjut ke proses serius yaitu nikah sebenarnya. Proses-proses itu harus aku lakukan dengan berurutan agar diriku benar-benar siap mengayun rumah tangga. Dan apakah mungkin proses ini bisa dilakukan hanya dengan jangka waktu kurang dari 15 hari lagi.
---       
Kusandarkan tubuhku disebuah kursi taman siang itu, mentari terlihat tegas memanas menyinari hamparan dunia. Dipayungi rimbunan pepohanan aku menghilangkan kegundahan hatiku, mencoba menenangkan diri sembari berselancar didunia maya.
“wan..”seorang menyerukan sepenggal namaku. Aku menoleh, nampak seorang gadis berselimut kerudung jingga menghampiriku. Aku mengkerutkan kening, mengingat gadis ini dalam memori perjalanan hidupku. Wajahnya terlihat tegas, matanya berlapis lensa berwarna biru, serta dua buah lesung pipit yang terlihat saat mengurai senyum. Postur tubuhnya bisa kukira tingginya, sekitar 165cm. Sembari tersenyum ia menyalamiku. Kemudian menyebutkan jelas nama lengkapku “Muhammad Ikhwan”.
            Aku tersenyum seraya mengganguk pelan. Mencoba terus memutar otakku mengingat sebenarnya siapa sosok dihadapanku. Sebelum sempat teringat, gadis ini mematahkan ingatanku dengan perkataannya.”aku adik kelasmu dulu di SMA. Masih ingat denganku ?”. Dari logat bahasa jawanya yang kental, sepertinya ia seorang yang tidak asing dan berasal dari kota kelahiranku juga, Yogjakarta.
            “piye toh mas, lali karo aku,  Agatha Farisya”ungkapnya dengan nada agak kecewa.
            “masya Allah, Agatha. Bagaimana mungkin aku bisa lupa dengan adik kelas sepertimu”tungkasku. Meski padahal nyatanya aku baru mengingatnya setelah ia mengucap namanya. Wajar saja bila aku lupa, sudah terbilang sekitar 10 tahun aku tidak berjumpa dengannya, terlebih penampilannya yang telah berubah. Terlihat ia lebih baik dengan keputusannya berhijab. Setelah kami saling menyebutkan kabar kami. Aku mengajaknya kesebuah cafe coffe diujung jalan untuk berbincang-bincang, sekaligus melampiaskan kerinduan atas sekian lamanya tidak bertemu.
            Setelah kelulusan SMA dulu, Agatha memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya mengambil diploma tiga disalah satu akademi di Jakarta. ia menekuni dunia komputer yang menjadi kegemarannya. Hingga akhirnya, ia telah lulus dengan gelar ahli madya dan telah bekerja disalah satu perusahaan sebagai administrasi. Begitulah ceritanya saat kutanya bagaimana perjalanan karirnya.
            Sebuah perjalanan yang begitu hebat menurutku.”lalu, bagaimana dengan perjalanan karirmu ?”tanyanya.
            “seperti inilah diriku, seorang mahasiswa strata satu jurusan Ekonomi. Semenjak kelulusan SMA dulu, aku memutuskan untuk merantau ke Bekasi. Kurangnya ekonomi keluarga, membuatku harus bekerja sebagai seorang buruh. Ketika semua sudah siap dari segi biaya, aku meneruskan pendidikanku. Dan hanya terhitung beberapa hari lagi gelar itu akan segera kuraih”jelasku.
            “tak ku sangka, ternyata aku sedang berhadapan dengan seorang sarjana Ekonomi !”seru Agatha diakhiri tawa.
            Aku hanya tersenyum. “bagaimana dengan perjalanan pernikahanmu ?. Siapa seorang yang telah menjadi suamimu ?”tanyaku.
            Agatha hanya terdiam mendengar pertanyaanku. Sepertinya ia tersinggung mendengar pertanyaan itu.
            Dengan mata berkaca-kaca ia berkata. “perjalanan pernikahanku tidak semulus perjalanan karirku wan !”.
            Semua berawal saat orang tua Agatha menjodohkannya dengan seorang pria tinggi berkulit putih, Aris begitulah nama pria itu sering disebut. Namun karena ketidak setujuannya ia atas perjodohan orang tuanya. Agatha memutuskan untuk melarikan diri, dan menikah dengan seorang pria pilihannya sendiri.
            Agatha kemudian menikah dengan seorang pria bernama Mifta yang ia kenal baik ketika masa kuliahnya dulu. Mereka telah lama menjalin asmara hingga akhirnya memutusan menikah  tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Setelah pernikahannya, Agatha bersama suaminya merantau menuju kota kelahiran suaminya itu. Palembang, disanalah Agatha menjalin rumah tangganya, rumah tangga yang awalnya berjalan harmonis dengan kebahagian atas dikaruniakannya seorang anak lelaki. Akhirnya harus berakhir ditahun kedua saat kecelakaan menimpa suaminya. Mobil yang ditumpangi suaminya tergelincir menabrak pembatas jalan. Mobil mulus itu, hancur berubah menjadi remukan besi. Sementara suaminya tak sadarkan diri. Benturan keras dikepalanya membuatnya koma selama 9 hari dirumah sakit.
            Pada akhirnya, Agatha harus menelan keputusan pahit dalam-dalam atas kepergian suaminya ke pangkuan sang Khalik. Mengetahui hal itu, Agatha merasa shock dan sedih. Terlebih karena begitu cepatnya suaminya meninggalkannya disaat kebahagian sedang merundung keluarganya, begitu cepat Agatha harus menafkai keluarganya sendiri, serta begitu cepat ia harus menjanda.
            Sepeninggal suaminya, tak ada sedikitpun harta yang ia punya. Semua telah ia korbankan untuk pembiayaan rumah sakit suaminya. Bertahun-tahun telah berlalu, saat dirinya mengalami susahnya menghidupi keluarga dengan melakukan pekerjaan seadanya. Akhirnya, karena terdesak kebutuhan anaknya yang begitu besar, Agatha yang hanya bermodal sebuah semangat dan Ijazah diplomanya memutuskan kembali ke Jakarta. Mencari pekerjaan yang lebih baik untuk menghidupi putra kecilnya. Dan syukurlah, ia diterima sebagai seorang administrasi di sebuah perusahaan. Agatha mengakhiri ceritanya, pipinya terlihat basah oleh air mata yang terus saja mengalir. Kemudian ia menjeda air matanya dengan tissu, dan berkata “bagaimana dengan perjalanan pernikahanmu, tentu pasti menyenangkan bukan ?”.
            Dengan agak kecewa, karena tidak dapat bercerita banyak aku berkata“aku belum menikah agatha, sampai hari ini pun Allah belum mempertemukan aku dengan jodohku”.
            “semoga Allah segera mempertemukanmu dengan jodohmu, jangan lupa udangannya !”balas Agatha seraya menggaris senyum. Senyum manisnya terlihat seakan mencoba menutup dalam-dalam kesedihan yang baru saja meluap.
            Agatha seorang wanita hebat, ia sosok yang tegar dan apa adanya. Meski ia telah mengecewakan kedua orang tuanya atas kepergiannya selama ini. Dari balik itu ia seorang yang selalu ikhlas menerima Tuhan menggariskan takdir hidupnya. ya, aku mengenal Agatha sudah lama. Aku tahu benar bagaima sifat dan prilakuknya. Bahkan aku tidak menyangka jika ia berani mendustai orang tuanya. Nampaknya ada sebuah ketertarikan yang tiba-tiba tergurat dalam relung kosong jiwaku. Oh Tuhan, apa mungkin ia adalah jodoh yang Engkau kirim untukku, apakah dirinya adalah jawaban atas doa malamku selama ini.
---
            Hari wisudaku telah datang. Sebentar lagi aku akan menyabet gelar strataku. Meski aku sungguh merasa begitu bahagia, namun ada saja yang kurang, yaitu ketidak bisa hadirnya kedua orang tuaku dalam momen penting itu. Menutupi kekecewaanku, aku mengudang Agatha untuk menyaksikan prosesi wisudaku.
            Tali toga telah bergesar, sarjana ekonomi telah terpaku dipundakku. Saatnya aku mulai bersaing mentukan jalan karirku. Dan tentu yang tidak bisa terlupa adalah bagaimana aku menetukan perjalanan pernikahanku.
            Setelah prosesi wisuda selesai Agatha menghampiriku. Kemudian menyelamatiku dengan antusias. “bagaimana langkahmu selanjutnya ?”tanyanya.
            “masih ada yang harus aku fikirkan, tentang sebuah pernikahan”balasku.
            “apa sudah kau temui jodohmu ?”
            “sudah, sosok itu tepat berada dihadapanku. Dan akan segera aku lamar jika ia menerimanya”
            “maksudmu ?”tanya Agatha bingung. Ia masih belum mengerti maksud dari perkataanku.
            “apa kamu menerima, jika aku meminangmu ?”
            Agatha hanya terseyum seraya menganguk pelan. “tapi, kau memilihku bukan karena keteburu-buruanmu mencari pendamping ? maksudku, kau tahu, aku janda beranak satu ? tidak mungkin seorang perjaka sepertimu, mau menikahi janda sepertiku”katanya dengan ragu.
            “aku mengenalmu sudah cukup lama Agatha, dirimulah sosok yang selama ini aku cari, seorang wanita hebat yang akan menemaniku menyempurnakan agamaku. Meski bagaimanapun keadaanmu sekarang, aku akan Ikhlas menerimamu, selagi kamu mau menerimaku apa adanya”jelasku dengan yakin. Niatan itu sudah bulat unutk bisa merangkul Agatha menjadi pendamping hidupku.
            Agatha terseyum puas. Sepertinya ia telah mendapat penganti terbaik dari suami yang telah meninggalkannya.
---
            Aku kembali ke kota kelahiranku Yojakarta, dengan hati bahagia membawa sebuah Ijazah sarjana ekonomiku, serta bersama seorang Agatha yang akan menjadi pendamping hidupku.
            Dengan bangga aku meperkenalkan Agatha dengan kedua orang tuaku, meski awalnya ibundaku menolak karena anak bungsunya akan menikahi seorang janda. Aku mencoba menjelaskan, betapa istimewanya Agatha dimataku. Aku tidak menilainya sebagai seorang janda beranak satu, melainkan seorang wanita hebat yang taat beribadah kepada Tuhannya.
            Setelah mendapat persetujuan dari kedua orang tuaku, segera aku melamar Agatha. Menghampiri kedua orang tuanya untuk mendapatkan restu. Sebuah momen yang begitu menegangkan bagi diriku dan Agatha, karena inilah saatnya aku melamar seorang wanita untuk pertama kalinya dan hanya ingin untuk terakhir kalinya. Dan bagi Agatha, inilah saatnya ia kembali kekedua orang tuanya untuk meminta pengampunan atas prilakunya selama ini.Setelah kami mendapat restu dari kedua orang tua kami, segera aku menentukan hari pernikahanku. Meneruskan ke jenjang yang lebih serius dan sakral.
            Ku agungkan kebesaran Ilahi rabbi atas segala nikmat yang telah ia berikan. Tidak pernah ku sangka, semua berjalan sempurna. Tepat hari ketiga puluh aku menyabet gelar staraku, serta tepat dihari ketiga puluh aku mempersiapkan pernikahanku. “subahanallah, maha suci Allah atas segala kebesarannya. Yang telah mengabulkan doa kecil hambanya” .
---
Aku masih bersujud di tiap malamku. Memanjatkan doa kepada sang Pencipta. Meminta petunjuk agar terus bisa menjadi hambanya yang istiqomah, serta bisa menjadi seorang imam yang baik untuk Agatha. Membawanya dalam bahtera rumah tangga yang Sakinah, Mawadah, Warahmah.
            Bagi Allah ini hanyalah seseuatu yang kecil dari Kemurahannya. Dan bagi diriku ini adalah nikmat Allah yang begitu besar. Bahkan, selama ini tak pernah terbayang jika secepat itu Allah mengabulkan doa hambanya. Namun inilah kebesaranNya. Aku yakin tidak pernah ada satupun doa yang terlewat dari telinganya. Sesungguhnya Allah mendengar, hanya saja Ia punya rencana yang lebih baik untuk hambanya. “Wallahu A’lam Bishawab”. Dan dengan tangan terbuka aku akan menerima bagaimana dan apapun yang Allah gariskan untukku. Untuk keluargaku.
            Hamdan Yuuwaafii ni’amahu wayukaafii maziidah. Yaa robbana lakal hamdu kamaa yambaghii lijalaali wajhika wa’adhiimi sulthoonik. Alhamdulillaahirobbil ‘aalamiin

-Selesai-
 
Copyright 2014 Kiki Ramadhan