Aku terbangun, waktu menujukan pukul 2 dini hari, segera
aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mensucikan diri dengan berwudhu.
Di sepertiga malam ini aku akan melakukan kegiatan rutinku, yaitu melakukan
shalat Tahajud. Dengan semangat kubentangkan sajadah, kuhadapakan diriku kearah
kiblat, seraya mengangkat kedua tangan mengucap takbir “Allahhu Akbar” lalu kulipat kedua tanganku diantara dada dan perut.
Meski kantuk begitu meyerangku kuat, aku mencoba mengkhusukan diri bercinta
dengan sang khalik, Allah Subahanahu Wata A’la.
Selepas
melaksanakan shalat, kuraih sebuah Al-qur’an diatas meja belajar.Kemudian kubuka
tiap lembar Al-quran dengan lembut, dengan nada agak sayup aku membacanya.
Meski terdengar lirih namun kusemangatkan diri melantunkan firman-firman Allah
itu.
Waktu
tidak terasa menunjuk pukul 4 pagi, aku mengakhiri bacaanku, setelahnya
kutadahkan kedua tangan setingi-tingginya dan mulai berseru kepada Tuhan
semesta alam.” Ya Allah, semoga hamba selalu istiqomah berada dijalanmu, dan
tuntunlah hambamu kepada seorang yang akan mendampingi hambaMu menyempurnakan
AgamaMu. Amin, Amin Ya Rabbal A’lamin”.
Begitulah doa yang selalu terucap dipenghujung sujud malamku. Doa yang menjadi
harapanku, serta doa yang menjadi tujuan hidupku kini. Mencari pendamping hidup
untuk menjalakan sunnah Rasulullah SAW.
Terbesit
teringat perkataan ibunda. Sebuah perkataan yang seakan mendesak diriku. “kapan
kamu menikah nak Ikhwan, apa belum ada Akhwat yang cocok denganmu”. Sejenak
kuresapi, hingga tidak terasa aku meneteskan air mata.
Jika dipikirkan,
memang sebenarnya aku telah matang melaksanakan jenjang pernikahan. Diumurku
yang terbilang sudah kepala tiga, seharusnya aku telah membina sebuah rumah
tangga. Selain karena belumnya menemukan Akhwat yang tepat, kendalaku
selanjutnya adalah bagaimana kelak menafkahi istri dan anak-anakku nanti.
Pekerjaan yang tidak tetap membuatku berfikir ulang untuk memutuskan akhir
lajangku.
“jangan
terlalu dipikirkan, Allah punya jalan untuk orang-orang yang berusaha”. Ibu
menyemangatiku agar tidak terlalu pesimis menghadapinya. Dengan antusias, Ibu
melantunkan sepenggal Ayat Al-Qur’an kemudian mengartikan.
Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(Q.S. al-Nur:
32).
Dengan lirih ibu kembali berkata“ibu harap disegerakan,
karena ibu ingin melihatmu menikah dan meminang cucu sebelum ibu dipanggil
kepangkuan sang Khalik”.
“Masya Allah Ibu,
jagan berbicara seperti itu. Ikhwan belum siap jika harus ditinggalkan ibu.
Begini saja, setelah wisuda nanti. Ikhwan janji segera mempersiapkan pernikahan”
kataku dengan yakinnya.
Tersadar dalam lamunan, kemudian kulirikkan mataku kearah
kalender yang tergantung ditembok kamarku, tepat disebelah sebuah cermin kecil
disamping pintu. Lirikku tertuju pada tanggal yang aku lingkari, tanggal dimana
wisudaku dilakasanakan, serta saat aku harus menyiapkan diri melaksanakan
pernikahan sesuai janji yang terlontar kepada ibu dulu. Tertegun hatiku, ketika
menyadari bahwasanya waktu yang kuidamkan itu sudah tidak lama lagi. Terhitung
sekitar 30 hari, atau sebulan lagi.”Subahanallah”seruku.
Waktu begitu cepat berlalu, bahkan aku belum sama sekali menemukan jodohku.
Terlalu
asyiknya berlarut dalam lamunan, hingga suara adzan subuh pun telah terdengar
berkumandang. Segera aku bangkit, melangkah menuju masjid terdekat untuk
menunaikan kewajibanku. Kembali bersujud kepada penguasa alam. Allah Subahanahu
Wata A’la.
---
Waktu
sebulan bukan merupakan waktu yang cukup untuk menetukan pedamping hidup. Butuh
waktu panjang agar diriku benar-benar siap dan matang menjalani pernikahan.
Perkara menikah bukan hal mudah, tentunya aku harus siap dari segi materil dan
terlebih lagi dari segi moral. Agar nantinya aku bisa menjadi seorang yang
selain bisa mengimami, juga bisa membawa sebuah kebahagiaan demi terciptanya
keluarga Sakinah, Mawadah, Warahmah.
Setiap
kaum yang telah matang melaksanakan pernikahan, tentunya ingin sekali
menyegerakan sebagai suatu kesempurnaan ibadah. Namun selayaknya, tentu harus
memperhatikan aspek-aspek penting dan tujuan dari pernikahan itu sendiri.
Tujuan menikah sendiri selain merupakan penyaluran hasrat
biologis kepada lawan jenis, guna melahirkan generasi-generasi baru untuk
melanjutkan kekhalifaan manusia di muka bumi. Pernikahan juga bertujuan moral
sebagai suatu pengabdian kepada sang khalik. Sakralnya tujuan pernikahan itu
membuatnya bukan hanya sekedar ujicoba yang apabila tidak mampu melanjutkan
dapat diberhentikan dengan perceraian. Persefsi seperti itulah yang membuat
pernikahaan terlihat hanya sebagai persoalan hasrat biologis semata.
Hasrat
biologis merupakan kendala besar kaum muda apabila berhadapan dengan seorang
Akhwat. Begitu halnya diriku, terkadang sering terlena terhadap sosok keindahan
kaum Akhwat. Menatap mereka berlama-lama, memandang keindahan solek tubuh
mereka. Padahal nyatanya semua itu merupakan hal yang diharamkan agama. Sebagai
seorang lelaki yang juga memilik harsrat itu, aku hanya bisa meredamnya dengan
melakukan puasa, seperti tuntunan rasulullah. Karena hanya dengan berpuasalah
aku bisa menjaga perbuatan dan pandanganku.
Secara
garis besar pernikahan butuh sebuah kematangan dan kesiapan mental bagi yang
akan melaksanakan. Kematangan dan kesiapan itulah yang menjadikan pernikahan
berada ditataran keseriusan. Agar pernikhan yang dijalankan, bukan hanyak
memperhatikan aspek biologi, melainkan juga memperhatikan sisi aspek
psikologis.
Aku
terus mencari apa dan bagaimana pernikahan
harus dilaksanakan, agar aku benar-benar mengerti tentang jenjang sakral
itu. Lalu, pertanyaanku sekarang adalah siapakah jodohku ?.
---
Hari terus
berganti, waktu terus berputar hingga hari ke-15 sebelum wisudaku dan persiapan
pernikahan itu. Aku Belum juga menemukan siapakah jodohku. Doa yang selalu
kupanjatkan dipenghujung sujud malamku belum juga dikabulkan sang pencipta.
Meski begitu, aku yakin Allah mendengar segala harapanku, dan kelak akan
mengabulkannya.
Disisa-sisa
hari itu, yang tentunya belum cukup untuk aku menemukan bahkan memutuskan
sesorang untuk menjadi pendamping hidupku. Aku hanya bisa terus berikhtiar dan
menyerahkan keputusan akhirnya kepada Allah.
“Kringg,..kringgg,..”ponselku
berdering. Aku meraihnya, kemudian segera mengangkatnya.
“assalamualaikum
nak Ikhwan, bagaimana kabarmu ?”kata seorang diujung telepone. Suaranya tidak
asing, ialah Ibundaku.
“walaikumsalam,
baik ibunda. Bagaimana dengan kabar ibunda
?”balasku.
“alhamdullilah
baik. Bagaimana persiapan pernikahanmu, apa sudah menemukan jodohmu ?”
“belum
ibunda, Ikhwan masih terus berikhtiar dan berdoa”
“yasudah,
semoga kamu selalu dalam lindungan Allah, dan dipertemukan dengan jodohmu”
“amin ya
rabbal a’lamin”
Lagi-lagi
keinginan ibunda untuk melihat anak bungsunya menikah masih belum menemukan
titik terang. Bahkan aku belum sama sekali melaksanakan pendekatan kepada seorang Akhwat, menanya kesiapan jika aku menikahinya, kemudian meminangnya, setelahnya melaksanakan nikah gantung, serta berlanjut ke proses
serius yaitu nikah sebenarnya.
Proses-proses itu harus aku lakukan dengan berurutan agar diriku benar-benar
siap mengayun rumah tangga. Dan apakah mungkin proses ini bisa dilakukan hanya
dengan jangka waktu kurang dari 15 hari lagi.
---
Kusandarkan tubuhku disebuah kursi taman siang itu,
mentari terlihat tegas memanas menyinari hamparan dunia. Dipayungi rimbunan
pepohanan aku menghilangkan kegundahan hatiku, mencoba menenangkan diri sembari
berselancar didunia maya.
“wan..”seorang menyerukan sepenggal namaku. Aku menoleh,
nampak seorang gadis berselimut kerudung jingga menghampiriku. Aku mengkerutkan
kening, mengingat gadis ini dalam memori perjalanan hidupku. Wajahnya terlihat
tegas, matanya berlapis lensa berwarna biru, serta dua buah lesung pipit yang
terlihat saat mengurai senyum. Postur tubuhnya bisa kukira tingginya, sekitar
165cm. Sembari tersenyum ia menyalamiku. Kemudian menyebutkan jelas nama
lengkapku “Muhammad Ikhwan”.
Aku
tersenyum seraya mengganguk pelan. Mencoba terus memutar otakku mengingat
sebenarnya siapa sosok dihadapanku. Sebelum sempat teringat, gadis ini
mematahkan ingatanku dengan perkataannya.”aku adik kelasmu dulu di SMA. Masih
ingat denganku ?”. Dari logat bahasa jawanya yang kental, sepertinya ia seorang
yang tidak asing dan berasal dari kota kelahiranku juga, Yogjakarta.
“piye
toh mas, lali karo aku, Agatha Farisya”ungkapnya
dengan nada agak kecewa.
“masya
Allah, Agatha. Bagaimana mungkin aku bisa lupa dengan adik kelas
sepertimu”tungkasku. Meski padahal nyatanya aku baru mengingatnya setelah ia
mengucap namanya. Wajar saja bila aku lupa, sudah terbilang sekitar 10 tahun
aku tidak berjumpa dengannya, terlebih penampilannya yang telah berubah.
Terlihat ia lebih baik dengan keputusannya berhijab. Setelah kami saling
menyebutkan kabar kami. Aku mengajaknya kesebuah cafe coffe diujung jalan untuk
berbincang-bincang, sekaligus melampiaskan kerinduan atas sekian lamanya tidak
bertemu.
Setelah
kelulusan SMA dulu, Agatha memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya mengambil
diploma tiga disalah satu akademi di Jakarta. ia menekuni dunia komputer yang
menjadi kegemarannya. Hingga akhirnya, ia telah lulus dengan gelar ahli madya
dan telah bekerja disalah satu perusahaan sebagai administrasi. Begitulah
ceritanya saat kutanya bagaimana perjalanan karirnya.
Sebuah
perjalanan yang begitu hebat menurutku.”lalu, bagaimana dengan perjalanan karirmu
?”tanyanya.
“seperti
inilah diriku, seorang mahasiswa strata satu jurusan Ekonomi. Semenjak
kelulusan SMA dulu, aku memutuskan untuk merantau ke Bekasi. Kurangnya ekonomi
keluarga, membuatku harus bekerja sebagai seorang buruh. Ketika semua sudah
siap dari segi biaya, aku meneruskan pendidikanku. Dan hanya terhitung beberapa
hari lagi gelar itu akan segera kuraih”jelasku.
“tak ku
sangka, ternyata aku sedang berhadapan dengan seorang sarjana Ekonomi !”seru
Agatha diakhiri tawa.
Aku
hanya tersenyum. “bagaimana dengan perjalanan pernikahanmu ?. Siapa seorang
yang telah menjadi suamimu ?”tanyaku.
Agatha
hanya terdiam mendengar pertanyaanku. Sepertinya ia tersinggung mendengar
pertanyaan itu.
Dengan
mata berkaca-kaca ia berkata. “perjalanan pernikahanku tidak semulus perjalanan
karirku wan !”.
Semua berawal
saat orang tua Agatha menjodohkannya dengan seorang pria tinggi berkulit putih,
Aris begitulah nama pria itu sering disebut. Namun karena ketidak setujuannya
ia atas perjodohan orang tuanya. Agatha memutuskan untuk melarikan diri, dan
menikah dengan seorang pria pilihannya sendiri.
Agatha
kemudian menikah dengan seorang pria bernama Mifta yang ia kenal baik ketika
masa kuliahnya dulu. Mereka telah lama menjalin asmara hingga akhirnya
memutusan menikah tanpa sepengetahuan
kedua orang tuanya. Setelah pernikahannya, Agatha bersama suaminya merantau
menuju kota kelahiran suaminya itu. Palembang, disanalah Agatha menjalin rumah
tangganya, rumah tangga yang awalnya berjalan harmonis dengan kebahagian atas
dikaruniakannya seorang anak lelaki. Akhirnya harus berakhir ditahun kedua saat
kecelakaan menimpa suaminya. Mobil yang ditumpangi suaminya tergelincir
menabrak pembatas jalan. Mobil mulus itu, hancur berubah menjadi remukan besi.
Sementara suaminya tak sadarkan diri. Benturan keras dikepalanya membuatnya
koma selama 9 hari dirumah sakit.
Pada
akhirnya, Agatha harus menelan keputusan pahit dalam-dalam atas kepergian
suaminya ke pangkuan sang Khalik. Mengetahui hal itu, Agatha merasa shock dan
sedih. Terlebih karena begitu cepatnya suaminya meninggalkannya disaat
kebahagian sedang merundung keluarganya, begitu cepat Agatha harus menafkai
keluarganya sendiri, serta begitu cepat ia harus menjanda.
Sepeninggal
suaminya, tak ada sedikitpun harta yang ia punya. Semua telah ia korbankan
untuk pembiayaan rumah sakit suaminya. Bertahun-tahun telah berlalu, saat
dirinya mengalami susahnya menghidupi keluarga dengan melakukan pekerjaan
seadanya. Akhirnya, karena terdesak kebutuhan anaknya yang begitu besar, Agatha
yang hanya bermodal sebuah semangat dan Ijazah diplomanya memutuskan kembali ke
Jakarta. Mencari pekerjaan yang lebih baik untuk menghidupi putra kecilnya. Dan
syukurlah, ia diterima sebagai seorang administrasi di sebuah perusahaan. Agatha
mengakhiri ceritanya, pipinya terlihat basah oleh air mata yang terus saja mengalir.
Kemudian ia menjeda air matanya dengan tissu, dan berkata “bagaimana dengan
perjalanan pernikahanmu, tentu pasti menyenangkan bukan ?”.
Dengan
agak kecewa, karena tidak dapat bercerita banyak aku berkata“aku belum menikah
agatha, sampai hari ini pun Allah belum mempertemukan aku dengan jodohku”.
“semoga
Allah segera mempertemukanmu dengan jodohmu, jangan lupa udangannya !”balas
Agatha seraya menggaris senyum. Senyum manisnya terlihat seakan mencoba menutup
dalam-dalam kesedihan yang baru saja meluap.
Agatha
seorang wanita hebat, ia sosok yang tegar dan apa adanya. Meski ia telah
mengecewakan kedua orang tuanya atas kepergiannya selama ini. Dari balik itu ia
seorang yang selalu ikhlas menerima Tuhan menggariskan takdir hidupnya. ya, aku
mengenal Agatha sudah lama. Aku tahu benar bagaima sifat dan prilakuknya.
Bahkan aku tidak menyangka jika ia berani mendustai orang tuanya. Nampaknya ada
sebuah ketertarikan yang tiba-tiba tergurat dalam relung kosong jiwaku. Oh
Tuhan, apa mungkin ia adalah jodoh yang Engkau kirim untukku, apakah dirinya
adalah jawaban atas doa malamku selama ini.
---
Hari
wisudaku telah datang. Sebentar lagi aku akan menyabet gelar strataku. Meski
aku sungguh merasa begitu bahagia, namun ada saja yang kurang, yaitu ketidak
bisa hadirnya kedua orang tuaku dalam momen penting itu. Menutupi kekecewaanku,
aku mengudang Agatha untuk menyaksikan prosesi wisudaku.
Tali
toga telah bergesar, sarjana ekonomi telah terpaku dipundakku. Saatnya aku
mulai bersaing mentukan jalan karirku. Dan tentu yang tidak bisa terlupa adalah
bagaimana aku menetukan perjalanan pernikahanku.
Setelah
prosesi wisuda selesai Agatha menghampiriku. Kemudian menyelamatiku dengan
antusias. “bagaimana langkahmu selanjutnya ?”tanyanya.
“masih
ada yang harus aku fikirkan, tentang sebuah pernikahan”balasku.
“apa
sudah kau temui jodohmu ?”
“sudah,
sosok itu tepat berada dihadapanku. Dan akan segera aku lamar jika ia menerimanya”
“maksudmu
?”tanya Agatha bingung. Ia masih belum mengerti maksud dari perkataanku.
“apa kamu
menerima, jika aku meminangmu ?”
Agatha
hanya terseyum seraya menganguk pelan. “tapi, kau memilihku bukan karena keteburu-buruanmu
mencari pendamping ? maksudku, kau tahu, aku janda beranak satu ? tidak mungkin
seorang perjaka sepertimu, mau menikahi janda sepertiku”katanya dengan ragu.
“aku
mengenalmu sudah cukup lama Agatha, dirimulah sosok yang selama ini aku cari,
seorang wanita hebat yang akan menemaniku menyempurnakan agamaku. Meski bagaimanapun
keadaanmu sekarang, aku akan Ikhlas menerimamu, selagi kamu mau menerimaku apa
adanya”jelasku dengan yakin. Niatan itu sudah bulat unutk bisa merangkul Agatha
menjadi pendamping hidupku.
Agatha
terseyum puas. Sepertinya ia telah mendapat penganti terbaik dari suami yang
telah meninggalkannya.
---
Aku
kembali ke kota kelahiranku Yojakarta, dengan hati bahagia membawa sebuah
Ijazah sarjana ekonomiku, serta bersama seorang Agatha yang akan menjadi pendamping
hidupku.
Dengan
bangga aku meperkenalkan Agatha dengan kedua orang tuaku, meski awalnya
ibundaku menolak karena anak bungsunya akan menikahi seorang janda. Aku mencoba
menjelaskan, betapa istimewanya Agatha dimataku. Aku tidak menilainya sebagai
seorang janda beranak satu, melainkan seorang wanita hebat yang taat beribadah
kepada Tuhannya.
Setelah
mendapat persetujuan dari kedua orang tuaku, segera aku melamar Agatha.
Menghampiri kedua orang tuanya untuk mendapatkan restu. Sebuah momen yang
begitu menegangkan bagi diriku dan Agatha, karena inilah saatnya aku melamar
seorang wanita untuk pertama kalinya dan hanya ingin untuk terakhir kalinya.
Dan bagi Agatha, inilah saatnya ia kembali kekedua orang tuanya untuk meminta
pengampunan atas prilakunya selama ini.Setelah kami mendapat restu dari kedua
orang tua kami, segera aku menentukan hari pernikahanku. Meneruskan ke jenjang
yang lebih serius dan sakral.
Ku
agungkan kebesaran Ilahi rabbi atas segala nikmat yang telah ia berikan. Tidak
pernah ku sangka, semua berjalan sempurna. Tepat hari ketiga puluh aku menyabet
gelar staraku, serta tepat dihari ketiga puluh aku mempersiapkan pernikahanku.
“subahanallah, maha suci Allah atas
segala kebesarannya. Yang telah mengabulkan doa kecil hambanya” .
---
Aku masih bersujud di tiap malamku. Memanjatkan doa
kepada sang Pencipta. Meminta petunjuk agar terus bisa menjadi hambanya yang
istiqomah, serta bisa menjadi seorang imam yang baik untuk Agatha. Membawanya
dalam bahtera rumah tangga yang Sakinah, Mawadah, Warahmah.
Bagi
Allah ini hanyalah seseuatu yang kecil dari Kemurahannya. Dan bagi diriku ini
adalah nikmat Allah yang begitu besar. Bahkan, selama ini tak pernah terbayang
jika secepat itu Allah mengabulkan doa hambanya. Namun inilah kebesaranNya. Aku
yakin tidak pernah ada satupun doa yang terlewat dari telinganya. Sesungguhnya Allah
mendengar, hanya saja Ia punya rencana yang lebih baik untuk hambanya. “Wallahu A’lam Bishawab”. Dan dengan
tangan terbuka aku akan menerima bagaimana dan apapun yang Allah gariskan
untukku. Untuk keluargaku.
“Hamdan Yuuwaafii ni’amahu
wayukaafii maziidah. Yaa robbana lakal hamdu kamaa yambaghii lijalaali wajhika
wa’adhiimi sulthoonik. Alhamdulillaahirobbil
‘aalamiin”